Mahameru KAMI

Cerita kami, dimulai dari sini, dari hati.

Satu lagi cita telah terpenuhi, menjejakkan kaki di tanah tertinggi di Pulau Jawa. Menjelajah hutan dalam pendakian gunung, yang selama ini aku impikan untuk ditapaki. Semeru-ku, Semeru-kami. MAHAMERU KAMI.

20 orang dengan cariel dan daypack cukup besar, mulai memasuki kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru pada 17 Mei 2012. Hardtop sewaan yang cukup disesaki kami berdua puluh memasuki kawasan dengan penuh harapan di dalamnya. Harapan dari kami, untuk menikmati ciptaan Tuhan kami dalam bentuknya yang penuh makna. Dalam sapaan hangat tanah tertinggi Pulau Jawa, Semeru.

Ranu Pane cukup lembut menyapa. Membaur dalam sekumpulan pendaki lain yang berasal dari banyak tempat, dengan satu keinginan yang sama, Semeru.

Pendakian yang dimulai dari Ranu Pane, danau kecil di ketinggian 2.100 mdpl (meter di atas permukaan laut) sekitar pukul 13.30, untuk hari pertama akhirnya berhenti pada ketinggian 2.400 mdpl, di hadapan Ranu Kumbolo.

Image

Sebut tempat ini sebagai Surga Air. Genangan air memantulkan cahaya ratusan bintang di atasnya. Sungguh, belum pernah aku menemui bintang sebanyak itu, selain di Ranu Kumbolo. Di kaki Semeru, di salah satu bukit dekat tanah tertinggi Pulau Jawa.
Subhanallah, setelah berjalan kaki selama 6 jam, akhirnya aku dan beberapa rekan satu team sebagai anggota terakhir yang tiba di sana, dapat meletakkan beban yang kami bawa, pada tanah segar dengan rumput tipis di pinggir danau. Ranu Kumbolo kami.

Selamat pagi, Ranu Kumbolo!

Matahari pagi masih belum muncul, tetapi hawa dingin menusuk sudah mulai masuk ke dalam tenda. Aku yang tidur lelap dalam balutan sleeping bag dalam satu tenda bersama dengan 7 rekan satu team lainnya, akhirnya beranjak keluar untuk menikmati dinginnya Ranu Kumbolo. Dalam Subuh, alam bercerita, betapa kita seharusnya bersyukur masih hidup dan diberikan kesempatan untuk menikmati ciptaan-Nya, lagi, dan lagi.

Sujud syukur dalam Sholat Subuh-ku di tepian Ranu Kumbolo. Sapaan air wudlu dinginku. Betapa aku akhirnya bisa menikmati pagi dan Subuh pertamaku di tempat secantik itu.

Image

Image 

 Zafran & Arinda.

Pernahkah kamu membaca novel hebat karya Donny Dhirgantara berjudul “5 CM”?
Zafran tidak berhenti memikirkan Arinda, cewek yang disukainya, ketika melalui Tanjakan Cinta.
Bukan karena aku percaya dengan mitos itu, bukan juga tidak percaya. Hanya yang aku tahu, sungguh berat untuk naik ke atas sana, melewati Tanjakan Cinta, yang walaupun tidak begitu curam, tetapi melelahkan. Hebat, bagi mereka yang dapat tidak berhenti di sana, dan sembari berpikir, “Kalau gw berhenti sekarang, nanti mitos nya gagal gak ya?”.
Bukan kepalang kalau aku berhenti beberapa kali. Tapi bagaimana pun, aku tidak menoleh ke belakang. Entah kenapa.

Di balik Tanjakan Cinta, sudah menunggu hamparan Savana Lavender ungu yang membentang di Oro-Oro Ombo. Allahu akbar! Berjalan dalam jalan setapak, dengan diapit lavender ungu yang mencapai kepala, sepanjang itu, seluas itu. Dengan latar belakang bukit yang juga luar biasa agungnya. Betapa Tuhan menyayangi kami.

 

Naik dan turun bukit. Begitu dan begitu seterusnya. Dengan diawali Cemoro Kandang setelah Oro-Oro Ombo, beberapa bukit menyuguhkan hamparan bunga cantik warna-warni. Kuning dan putih. Sederhana, tetapi lembut.

Dan hari kedua pun berhenti di Kalimati. Persis di bawah kaki Mahameru. Ya, betul. Mahameru. Kami tidur berdampingan, di bawah kakinya. Dengan tatapan lurus, puncak gunung ini terlihat jelas di depan kami. Segelintir harapan, dan doa.

Berjumpa lagi dengan puluhan, atau mungkin ratusan pendaki. Baik yang akan beristirahat juga di Kalimati, atau akan tetap melanjutkan hingga di Arcopodo. Memang akan mengurangi waktu tempuh di malamnya ketika akan ke puncak. Namun, menimbang akan penuhnya Arcopodo malam itu, kami berdua puluh menghangatkan badan di Kalimati. Di bawah kaki sang puncak.

Perjalanan kembali dilanjutkan pukul 11 malam. Ketika banyak orang yang masih larut atau justru baru akan beranjak tidur dalam kamar masing-masing, di atas kasur yang biasa. Kami, para pengagum keindahan alam, justru berperang melawan kantuk dan dinginnya ketinggian 2.700 mdpl.
Setengah 12 malam, kami mulai melanjutkan perjalanan. Antara kantuk dan dingin yang menusuk, juga rasa excited luar biasa, dan harapan-harapan yang terselip dalam hati. Berharap semua berjalan dengan baik, dan kami mampu menapaki tanah tertinggi di Pulau Jawa ini, di atas puncak Mahameru.

Hingga subuh datang, dan matahari mulai menyingsing. Kami, sebagian besar dari kami, masih perlahan menapaki gunung berpasir luar biasa itu. Menuju puncaknya.
Jika Jakarta punya kondisi “Padat Merayap”, begitu pun jalur menuju Puncak malam itu. Harus sabar, pastinya. Ditambah dengan debu dan pasir yang tertelan entah berapa banyak.

MAHAMERU!

Banyak hal yang terjadi di sana. Tidak dapat aku sebutkan atau ceritakan satu per satu. Cukup aku tanamkan dalam hati. Tentang bagaimana aku melalui semuanya.
Aku memang tidak menginjakkan kedua kaki kecilku di Puncak Mahameru, seperti yang aku inginkan, seperti yang aku janjikan, dan seperti yang aku sangat impikan. Namun, itu memang batasan yang aku punya saat itu. Aku belum berani untuk menantang badanku lebih dari kelebihan yang sudah aku ambil saat itu.

Tentang betapa aku kecewa atas ketidaksanggupanku meraih puncak Mahameru, aku hanya bisa berkata, suatu saat aku pasti bisa. Ya, suatu saat adalah saat esok, ketika aku berkesempatan untuk mengunjungi atap tanah Jawa itu lagi.
Aku kembali berjanji, pada diriku sendiri, juga pada sahabatku. Pada alamku. Semoga aku bisa.

Aku berhenti di 3.530 mdpl, sedangkan 16 temanku berhasil menjejakkan kaki hingga 3.670 mdpl.
Aku senang, sangat senang. Betapa akhirnya aku dan teman-temanku berhasil hingga ke puncak. Yah, anggap saja begitu. Dua orang temanku, tidak sampai puncak karena menemaniku. Sungguh, keputusan yang sangat berat menurutku. Ketika kamu dihadapkan dengan pilihan antara teman, atau impian.

 

Maaf kepada mereka yang merasa kecewa walau hanya sedikit, atas apa yang aku lakukan, tetapi belum berhasil hingga ke atapnya. Namun sungguh, jika ada lain kali, aku berjanji, akan ada di sana. Dan kalian pasti tahu betapa aku ingin.

Terima kasih kepada mereka, kepada kalian, dan terutama kepada Tuhan-ku yang Maha segalanya.
Karena berkat kalian semua, aku hidup. Aku ada. Aku berada. Dan aku bisa dan berani ada di sana.

Terima kasih, Tuhan. Engkau memberikan segalanya untukku. Semuanya, yang tidak akan pernah bisa aku sebutkan satu per satu di sini.

Terima kasih, Gilang Revolusi Ramadhan Zulkarnain. Karena kamu adalah satu orang pertama yang benar-benar membawa keinginanku ke sana. Dari aku yang dulu tidak pernah menyentuh gunung, hingga aku ada di Puncak Gunung Gede, dan hampir mencapai Puncak Mahameru. Kamu juga yang selalu menjaga aku ketika aku ada di rimba. Kamu yang selalu menyemangatiku, tanpa henti. Menarikku walau aku tahu itu sangat berat, dalam pasir yang terus membawa turun ketika satu langkah dipijak, kamu masih saja menarikku. Walau akhirnya aku belum bisa hingga ke puncak. Terima kasih. Untuk selalu sabar, dan menjadi seorang Revo.

Terima kasih, Dewi Sartika. Untuk semua sayang yang kamu berikan untukku. Semuanya tanpa kecuali. Untuk menjadi tempat tertawa dan mengeluh. Untuk dipeluk dan dicium. Untuk diberikan senyum dan dicandai. Untuk menjadi seorang Dewi. Untuk menjadi sahabatku. Terima kasih.

Terima kasih, Muhammad Ilham. Untuk selalu sabar menghadapi aku. Untuk bersedia membantu meskipun aku berkepala batu. Untuk bersedia menunggu meskipun aku berjalan lambat waktu. Untuk menarikku, untuk menyemangatiku. Untuk semuanya.

Terima kasih, Mas Oyot. Untuk menjadi stranger yang sangat dan teramat sangat baik. Tidak akan mampu aku sampai ke atas sana, tanpa kamu yang juga menarikku dengan sabar. Untuk kembali turun ke bawah dan mengambilkan air minum untukku. Untuk semuanya. Untuk menjadi orang yang begitu baik.

Terima kasih, untuk Triaji dan Iqbal, yang bersedia membawakan cariel-ku naik dan turun gunung. Untuk Mas Peyek yang sudah menjadi koki keren dan team sweeper yang sabar, juga untuk satu bungkus indomie goreng-nya di saat terlaparku. Untuk Tohir, Toyib, Aven, Stiaji, Zuhdan, Ano, Dimas, dan Abi, yang menjadi teman seperjalanan yang super!

 

 

 

Juga untuk Jody, Reza, Boro, dan Febry, yang menjadi teman baru yang sangat baik, menjadi team advance yang luar biasa semangatnya, dan teman perjalanan pulang yang super konyol, tawaku dapat lepas ketika aku bersedih, tetapi karena kalian aku tertawa, terima kasih.

Semeru yang ini, membuat cerita baru. Tentang aku, tentang alamku, tentang sahabat-sahabatku, tentang mereka yang aku sayangi, karena mereka apa adanya.

Terima kasih, untuk MAHAMERU KAMI.

 

“Mimpi-mimpi kamu, cita-cita kamu, keyakinan kamu, apa yang kamu mau kejar, biarkan ia menggantung, mengambang 5 centimeter di depan kening kamu. Jadi dia nggak akan pernah lepas dari mata kamu. Dan kamu bawa mimpi dan keyakinan kamu itu setiap hari, kamu lihat setiap hari, dan percaya bahwa kamu bisa.
Apa pun hambatannya, bilang sama diri kamu sendiri, kalo kamu percaya sama keinginan itu dan kamu nggak bisa menyerah. Bahwa kamu akan berdiri lagi setiap kamu jatuh, bahwa kamu akan mengejarnya sampai dapat, apapun itu, segala keinginan, mimpi, cita-cita, keyakinan diri..
Biarkan keyakinan kamu, 5 centimeter mengambang di depan kening kamu. Dan… sehabis itu yang kamu perlu cuma kaki yang akan berjalan lebih jauh dari biasanya, tangan yang akan berbuat lebih banyak dari biasanya, mata yang akan menatap lebih lama dari biasanya, leher yang akan lebih sering melihat ke atas, lapisan tekad yang seribu kali lebih keras dari baja, dan hati yang akan bekerja lebih keras dari biasanya, serta mulut yang akan selalu berdoa..
Keep our dreams alive, and we will survive..” 
― [5cm – Donny Dhirgantara]

 

Regards,
R.

4 thoughts on “Mahameru KAMI

Leave a comment